Memasrahkan Kebenaran Pada Allah dan Rasulnya

Baca info terbaru Memasrahkan Kebenaran Pada Allah dan Rasulnya yang bisa menjadi pilihan kalian dalam memilih beragam sajian mengenai berbagai berita dan update informasi yang tepat saat ini, seperti yang sudah aku sajikan pada tulisan dengan judul Memasrahkan Kebenaran Pada Allah dan Rasulnya dalam kategori kalian bisa melihat lengkap dibawah ini.
Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, begitu banyak pemikiran yang bersliweran. Sebagai seorang muslim, maka kita perlu secara cerdas memilah mana yang baik dan perlu untuk di ambil, man pula yang buruk yang harus ditinggalkan.
                Diantara pemikiran yang tak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya adalah keyakinan yang dikonsepkan dalam bentuk pluralisme agama. MUI pada tahun 2005 pernah mefatwakan keharaman mengikuti pemikiran-pemikiran sekulerisme, liberalisme dan pluralisme bagi umat Islam. Tentu mereka punya alasan, mereka mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran tersebut.
Selain dapat menjauhkan umat Islam dari kesadaran mengimani kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, paham-paham tersebut juga akan bertentangan sendiri dengan dasar-dasar hukum yang terdapat di negara kita. Sebut saja tujuan pendidikan nasional yaitu mencetak manusia yang bertakwa. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan pentingnya takwa. Takwa adalah setiap perbuatan kita selalu dilandasi oleh ajaran agama. Dan diantara ajaran agama itu yang awal-awal paling urgen di ajarkan beliau adalah pembentukan akidah yang kuat, dimulai dari mengesakan Allah, dari segala bentuk perbuatan menyekutukannya (syirik).
Nurcholis Madjid, salah satu diantara akademisi yang mempelopori sekulerisme, liberalisme dan pluralisme, pernah menyatakan bahwa hubungan agama-agama yang ada didunia ini digambarkannya dengan penggambaran gigi pada roda sepeda. Di setiap ujung dari gigi-gigi itu adalah agama-agama dan di pusatnya adalah Tuhan, itu artinya semua agama tersebut dianggapnya sejajar dan sama saja, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama benarnya.
Benarkah pemikiran seperti itu? Pemikiran-pemikiran seperti itu faktanya menyebar bak cendawan bagi segolongan mahasiswa terutama di perguruan tinggi Islam. Mereka yang tidak begitu memegang teguh keyakinan dari kampung halaman, pada akhirnya ketika merantau ke PTAIN justru mengikuti pemahaman yang sebenarnya jauh dari pemahaman umat Islam bersama. Dengan alasan toleransi, menjaga perdamaian, maka mereka lalu menganggap bahwa mengakui kebenaran ajaran Islam adalah kebodohan, tidak toleran, dan berpotensi menimbulkan konflik antar agama.
Menilik dari sejarah Nabi Muhammad, kita tahu bahwa beliau adalah orang yang siap menderita walau mendapat cercaan, siksaan dan makian dari kaumnya. Beliau berpegang teguh terhadap satu akidah dan mengajarkan sahabatnya yang mau mengikutinya. Bahkan godaan tawaran kekuasaan, harta dan wanita hingga bujukan paman yang amat dihormatinya pun tak berpengaruh atas pendirian Rasulullah, tidak main keteguhan beliau atas dasar akidah yang wajib disampaikannya itu.
Telah masyhur diketahui umat bersama, bahwa Rasulullah tidak meninggalkan bagi umatnya kekayaan dunia apapun, yang beliau tinggalkan bagi mereka ternyata adalah dua hal yang begitu penting untuk memahami ajaran agama ini. yaitu al Qur’an dan Hadis. Hingga diakhir hayatnya pun, hal terakhir yang menjadi beban pikiran beliau bukanlah sedih meninggalkan dunia ini, atau sedih meninggalkan keluarganya, melainkan yang paling dipikirkannya adalah umatnya! Beliau meninggalkan dua petunjuk itu supaya umatnya tidak tersesat selagi hidup didunia dan menyongsong kehidupan yang abadi, akhirat. Sedari awal hingga akhir apa yang di lakukan beliau adalah berikhtiar menyadarkan manusia menjadi bersatu padu sebagai umat Islam dalam bingkai rukun Islam dan rukum Iman yang telah di ajarkan kepada anak-anak kita sedari TK/RA. Begitulah beliau diutus untuk umat.
Tidak ada paksaan dalam agama
 Namun meski begitu, beliau menyadari bahwa beriman kepada ke Esa-an Allah tidak dapat dipaksaan kepada umat agama lain. lakum dinukum waliyadin, begitu bahasa yang dipakai. Ayat itu konon masyhur diketahui turun berkenaan ajakan kaum kafir Quraisy untuk saling bertoleransi sehingga umat Islam harus ikut beribadah menyembah berhala dan begitu pula sebaliknya. Tetapi ajakan yang tampak menguntungkan secara politis ditolaknya, maka kita tahu segala keuntungan praktis itu tidak ada artinya bila akidah tergadaikan.
Lakum diinukum waliyadin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, itu sudah cukup menjelaskan bagaimana Islam mengajarkan umatnya tentang hubungan agama-agama, bahwa keyakinan antar agama itu, biarlah masing-masing meyakini agamanya, dan mempertanggung jawabkan nya kelak diakhirat. Kewajiban Rasulullah hanyalah menyampaikan risalahnya, dan ditundanya azab bagi umatnya yang ingkar adalah wujud rahmatan lil alamin sebagaimana beliau diutus.

                Maka tidak benar anggapan apabila kita meyakini kebenaran agama Islam yang dibawa oleh figur terbaik yaitu Nabi Muhammad SAW akan menyebabkan kekerasan dan serentetan tindakan lain. kewajiban umat Islam menjaga hubungan baik dengan umat agama lain yang tidak memerangi Islam telah banyak dipraktikkan oleh figur-figur yang terbaik di masanya. Tak ayal lagi kita tidak perlu terprofokasi untuk menggugat keyakinan agama sendiri hanya lantaran ada mereka yang keras dan kaku memahami agama. Kebenaran ajaran Tauhid itu benar, karena itu adalah Hak prerogatif Allah (Tuhan), kita tidak berhak mempertanyakan hal tersebut, karena bila kita terus-menerus mempertanyakan hal tersebut, bagaimana kita mempertanggung jawabkan diri kita pada Rasulullah tentang nasib akidah umat ini?

Share :

Facebook Twitter Google+
Back To Top