CERPEN BIJAK: RUMAH (karya mardjono)

Baca info terbaru CERPEN BIJAK: RUMAH (karya mardjono) yang bisa menjadi pilihan kalian dalam memilih beragam sajian mengenai berbagai berita dan update informasi yang tepat saat ini, seperti yang sudah aku sajikan pada tulisan dengan judul CERPEN BIJAK: RUMAH (karya mardjono) dalam kategori kalian bisa melihat lengkap dibawah ini.
di sekolah dia dikenal sebagai Pak Jon. di kampung akrab dipanggil Pak Guru. bahkan teman-teman yang lebih tua menyapanya "Ru" begitu saja. sederhana penampilannya, namun kadang kadang pola pikirnya sukar diduga. kali ini dia bikin sensasi akan membangun rumah 4 atau 5 kali lebih besar dari tipe RSS. bukan main.
         rencananya menjadi bahan tertawaan, berbagai model tertawa telah dilontarkan kepadanya.
       "biarlah mereka tertawa sebelum tertawa dilarang oleh penguasa," kata pak jon membela diri.
  mereka menganggap ada jarak yang tak dapat dipertemukan antara angan-angan dan kenyataan, antara obsesi dengan profesi. "betulkah ?" pak jon alias pak guru sengaja menancapkan selembar papan, ditulisnya dengan cat hitam.
         "Di sini akan dibangun rumah seorang Guru. insya Allahlima tahun lagi baru jadi."
           "Guru gila," ucap mereka yang lewat.
           "lebih gila mana dibanding mereka yang memathok lahan yang bukan miliknya ?" gerutu pak guru.
           Pak guru memang gila, tapi bukan sakit jiwa. justru karena perhitungan yang matang, ia tergila-gila ingin memiliki rumah sebelum gajinya habis untuk biaya sekolah.
           "burung saja punya sarang. tempat pulang menjelang petang. tempat sembunyi sebelum malam sepi." pak guru ini. dia tak mau dibandingkan dengan siput, jika rumahnya kecil dan ciut.
 tahun pertama sejak pertama kali dicanangkan mega proyeknya, ternyat di atas tanah Pak Guru tidak ada perubahan. komentar orang-orang yang lewat semakin nekat. tetapi tak satupun diantara mereka ingin mencabut papan yang ditancapkan. pada awal tahun kedua, mulai ada tanda-tanda.
sepulang dari mengajar, pak guru sibuk bekerja sendiri, menggali dan terus menggali untuk pondasi, orang-orang yang lewat semakin geli "kapan rumah akan jadi?"

rupanya pak guru tanggap atas gelagat. ditancapkannya papan kedua di sebelah papan pertama, demikian bunyinya, "selama-lama orang membangun rumah, maka akan lebih lama ia menempatinya."
         orang orang yang membaca semakin lebar tawanya. tetapi sebagian dari mereka membenarkannya.
        pertengahan tahun kedua, beberapa pekerja menyusun batu kali, membangun pondasi.
         "Ru, wah rumahnya hampir jadi." celetuk seorang teman yang suka menggoda.
        "keterlaluan, hanya pondasi dikatakan hampir jadi," jawab pak guru. hari-hari berikutnya tak ada tanggapan. mereka sudah bosan. yang tampak hanyalah pondasi , yang bisu dan tuli.
           menjelang akhir tahun kedua, nampak penarik songkro terengah-engah menarik seonggok tanah, untuk menimbun bagian yang rendah.
           "Ru! pakai truk kan lebih murah," saran seorang teman.
        pak guru yang biasanya tak peduli kali ini menanggapi. beberapa orang tampak berhenti. "teman-teman, cobalah renungkan, jika semua orang menggunakan jasa truk tanah memang lebih murah, tapi apakah tak terlintas pada pikiran kalian, bahwa tukang songkro pun perlu maka, lalu siapa yang akan memikirkan ? 
     orang-orang diam, salah seorang dengan jujur menyeletuk "pak guru memang seniman, seniman kehidupan tapi kenapa pak guru sering dilecehkan?"
             pada awal tahun ketiga orang mulai bertanya-tanya. pak guru bermain tanah basah. maklum lahannya bekas sawah. semakin hari, semakin tampak hamparan batu bata tercetak.
              pertengahan tahun ketiga, pak guru terlihat sibuk. batang-batang besi dipotong, ditekuk dan diikat kawat agar kuat, jadilah rancangan untuk tiang.
              "ternyata lebih mudah membentuk besi daripada membentuk kepribadian siswa," kata hatinya.
              awal tahun keempat, beberapa pekerja mulai giat. bentuk rumah mulai tampak besar dan kuat, sampai menjelang akhir tahun, atap belum dibangun, orangpun mulai usil.
        "pak guru! itu rumah apa bak mandi? kok tidak beratap?" pak guru tersenyum malu.
kenyataannya memang demikian. dana sudah habis terkuras, perlu waktu untuk bernafas.
              sebagian orang merasa kasihan,melihat pak guru semakin hitam. tetapi pak guru tidak mengharapkan bantuan. kerja adalah mulia. ibarat cinta, perlu pengorbanan untuk mencapai kepuasan.

            awal tahun kelima, beberapa tukang kayu bekerja saling membantu. batang-batang kayu disusun membentuk atap. paku dipukul palu untuk memperkuat. genting pun disusun bersap-sap. orang-orang pun berkomentar. "sayang, bentuk atapnya bekuk lulang hingga mirip gudang. kan lebih bagus bentuk limasan."
            "coba bayangkan. jika semua rumah bentuknya sama. maka akan terjadi krisis identitas.orang susah mencari, rumah siapa ini?" jawab pak guru. sebenarnya ada alasan tertentu  yang tidak dikatakan bahwa bentuk bekuk lulang menghemat kayu. untuk memperindah harus dipasang teras. sampai akhir tahun kelima, rumah belum sempurna.
           "pak guru! waktu habis, ulangan segera dikumpulkan." teriak mantan siswa.
          pak guru cepat tanggap atas sindiran tersebut. "tambah sepuluh menit lagi," jawabnya sambil tersenyum.
     demikian besar perhatian orang terhadap karya pak guru. sampai-sampai mereka ikut menghitung target waktu. lima tahun sudah lewat ternyata rumah belum siap.
                  kedua papan yang ditancapkan lima tahun yang lalu, dicabut dan diganti papan baru dengan tulisan "satu tahun lagi, insya Allah siap huni." pak guru ragu-ragu. satu tahun bukanlah waktu yang lama. uang sudah habis terkuras. tinggal doa yang tidak terbatas.
           para pejalan tidak lagi memperhatikan sebab rumah pak guru tidak mengalami perubahan. pak guru pun tidak pernah kelihatan. Beliau mungkin bersembunyi, mengatur strategi.
           pada liburan akhir tahun pelajaran, ada satu kejutan. eternit dipasang di langit-langit. lantai dari keramik. "luar biasa," komentar orang-orang.
            seharia Pak Guru mengecat tembok. orang pun mulai berolok-olok. "pak guru ngecat sendiri, lalu tukang cat makan apa pak guru?"
             Pak Guru tersenyum, ia diserang balik. ingatannya kembali pada tukang songkro dan truk tanah.
          "ya makan nasi donk," jawabnya.
           "begini, uangku terbatas. jika mengupah tukang cat, maka kualitas catnya rendah. tetapi jika aku kerjakan sendiri, maka kualitas catnya tinggi," sambung pak guru. sesekali pak guru istirahat. ia memandangi rumahnya dari jauh. kepuasan muncul, ia pun tersenyum simpul.
           orang-orang mulai kagum, namun sebagian merasa iri. mereka mencari-cari "mungkin pak guru korupsi."
            "korupsi ? mana mungkin pak guru korupsi," bantah mantan muridnya. "beliau patut dipuji. jujur, rajin, dan kebapakan," sambung mantan murid yang lain. mereka saling bertanya dan mereka pula yang memberi jawaban sementara. sebab Pak Guru tak pernah bercerita, bahwa sisa tabungan di bank, ternyata membawa membawa berkah. memperoleh hadiah. tidak nomor satu, tapi cukup besar untuk ukuran seorang guru.
              di suatu sore yang cerah, pak guru tampak berbenah.tikar digelar, debu disapu. persiapan tasyakuran. sambil menanti kedatangan para tamu, Pak Guru mencoba merangkai kata-kata. membuat kalimat untuk menjawab pertanyaan atau untuk menolak tuduhan, atau untuk menyerang balik atas sindiran, atau untuk menahan pujian.
                 "apa isi rumahnya?" mungkin ini pertanyaan dari tamu untuk sesama mereka.
                 "tak ada rahasia dan tak ada dusta," jawab pak guru. "apa yang diletakkan diruang tamu?"
                 "sederet buku. di dalamnya ada masa depan, ada kebenaran, kerendah hatian, kejujuran, kasih sayang, juga cinta." "apa isi kamar sebelah sana?"
                  "di sana tergantung beberapa stel pakaian kerja, PSH, tanpa tanda jasa. dan bau wangi ini? ini berasal dari bunga melati, yang kutanam di bawah jendela."tetapi saudara-saudara, aku di sini hanya sementara."
                  "pak guru mau pindah ke mana? kan rumah ini dibangun dengan banyak biaya dan memakan waktu lama? Rumahku yang abadi tidak disini."

Share :

Facebook Twitter Google+
Back To Top