Baca info terbaru Cerpen : Seputih Hati Bidadari (karya Suherman MJ) yang bisa menjadi pilihan kalian dalam memilih beragam sajian mengenai berbagai berita dan update informasi yang tepat saat ini, seperti yang sudah aku sajikan pada tulisan dengan judul Cerpen : Seputih Hati Bidadari (karya Suherman MJ) dalam kategori kalian bisa melihat lengkap dibawah ini.
Sepuluh tahun sudah Harman mendekam di penjara, selama itu pula ia tersiksa, dan besok adalah hari pembebasannya dan pencerahan, kurungan telah memberinya penyadaran setahap demi setahap. Tapi hatinya gundah bukan kepalang. Sudah setahun ini Halimah, istrinya, tidak menjenguknya seperti biasa. “mungkinkah Dia sudah berubah sikap?” gumam Harman. Sepuluh tahun bukanlah masa yang pendek untuk sebuah penantian, pikir Harman. Bisa saja selama dirinya berada dalam penjara, Halimah serong dengan laki-laki lain karena tak tahan dicekam kesepian. Atau siapa tahu pula Halimah Diam-Diam menikah lagi. Ya, segala kemungkinan bisa saja terjadi pada orang yang tersudut, terpepet, dan tertekan seperti Halimah, Istrinya.
Tapi, Harman masih ingat betul kata-kata yang diucapkan Halimah saat pertama kali menjenguknya di penjara. Waktu itu Harman masih tenggelam dalam keputus asaan. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahannya.
“Mas, Saya bukan malaikat, Mas Har juga bukan malaikat. Tapi, apakah kita tak bisa menjadi berjiwa seperti malaikat? Sekarang Mas Har dihukum. Lantas apakah tak ada kesempatan kesempatan lagi untuk memperbaiki diri dan bertaubat kepada-Nya? Bersabarlah Mas, Saya akan berusaha menanggung kepahitan ini dengan tabah bersama Anak-anak.” Tutur Halimah waktu itu dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sekarang sudah hancur, Mah, sudah hancur...!” rintih Harman yang tengah rapuh.
“Tidak Mas, kita masih punya harapan. Masih ada hari esok yang lebih baik. Awalnya saya memang terpukul. Tapi kemudian saya sadar, bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna. Biarlah peristiwa ini menjadi renungan hidup Kita.” Kalimat yang mengalir dari bibir Halimah bagaikan tetesan embun pagi yang menyejukkan hati hatinya.
“Ah, sangsikah Aku pada kesetiaan dan ketabahan Istriku? Wajarkah bila Aku berprasangka buruk kepadanya? Tegarkah Halimah mengarungi kehidupan yang keras ini sendirian? Kuatkah Ia menapaki penantiannya...?” Harman terus bergelut dengan pikirannya di dalam kamar tahanan yang sempit dan pengap.
Lelaki yang malang itu teringat pada kesabaran dan ketabahan Halimah yang mendampinginya mulai dari nol. Bermodalkan cinta dan keberanian, Mereka menikah. Dengan gaji yang pas-pasan, Harman belum mampu menyewa rumah. Maklumlah Cuma pegawai biasa dalam sebuah perusahaan negara. Mereka menumpang di rumah orang tua Halimah. Kerja keras dan disiplin membuat karirnya perlahan-lahan naik. Setelah menjabat kepala seksi beberapa tahun, Harman dipercaya menjadi kepala bagian. Bersamaan dengan itu, Halimah melahirkan Anak yang pertama. Sempurnalah kebahagiaan Mereka. Dengan gaji dan jabatan barunya itu, Mereka berhasil mendapatkan rumah cicilan. Karir Harman terus menanjak. Gairah kerjanya terus meluap. Wajarlah, kalau kemudian Dia dapat kepercayaan menjabat direktur muda pada perusahaan itu. Dari sinilah petaka itu berawal. Dan memang tidak semua manusia sanggup mensyukuri nikmat Allah. Kebanyakan manusia justru lalai dan lupa manakala berada dalam posisi puncak. Begitulah yang terjadi pada Dirinya. Jabatan yang tinggi, kekayaan yang melimpah, rumah nan megah, sandang dan pangan yang serba mewah, membuat Harman terperdaya. Lupa Ia pada keberadaan dirinya, lupa pada asal usulnya, sekaligus juga lupa kepada Allah!.
Ya, akibat ‘lupa’ itulah Harman jadi sering pulang malam, mabuk-mabukan, berjudi dan jarang memperhatikan anak istrinya. Namun dengan kesabaran dan ketabahan seorang istri, Halimah mencoba menyadarkan dan mengembalikan jati diri sang suami yang tengah ‘mabuk’ itu.
“Mas, seharusnya kita lebih bersyukur kepada Allah. Ingatlah Mas, kita lahir di dunia ini telanjang, tidak memiliki apa-apa. Mati pun kelak tak akan membawa apa-apa. Hanya amal Mas, yang akan diperhitungkan. Sadarlah Mas, karena kemurahan-Nya lah kita mendapatkan kenikmatan yang berlimpah ini. Aku tAkut, Allah akan murka dan mengganti kenikmatan ini dengan kepahitan.” Tutur Halimah dengan sendu. Siraman rohani kehidupan yang dikucurkan Halimah belum lagi sampai memuaskan dahaga sang pemabuk, secepat kilat tangan Harman melayang meninggalkan bekas di pipi istrinya itu. Bukan Cuma satu kali, berkali-kali Halimah harus menerima perlAkuan kasar dari suaminya. Suasana panas bagai neraka yang siap membakar bangunan rumah tangga Mereka. Tapi Halimah tak pernah jera sedikit pun. Ia terus berusaha memompa suaminya dengan kalimat-kalimat bermakna dan menyejukkan hati.
Kemelut itu terus berlanjut sampai akhirnya Harman diseret ke meja hijau karena terbukti menggelapkan uang negara. Harman tak bisa mengelak dari semua tuduhan yang memojokkannya dikursi terdakwa. Bukti-bukti dan fakta yang ada menguatkan kesalahannya. Maka, jatuhlah vonis sepuluh tahun kurungan dan penyitaan seluruh kekayaannya. Yang tersisa hanyalah rumah yang diDiami Istrinya beserta kedua Anak perempuannya.
Harman menarik napas dalam-dalam. Ada air bening yang menggelayut di sudut matanya. Dia melangkah mendekati pintu jeruji. “ah, sudah setahun ini Halimah tidak menjengukku seperti biasanya. Mungkinkah istriku mulai berubah sikap? Ataukah ada hal lain yang membuat Dia tak bisa datang kemari?” Harman lagi-lagi bergumam. Dari pintu jeruji Harman melangkah perlahan mendekati dipan tempat tidurnya. Lalu merebahkan diri di atas kasur yang sudah bau apek. Ia menarik bantal dari bawah dari bawah kepalanya dan memeluknya. Matanya menatap langit-langit kamar tahanan. Pikirannya kembali terpusat pada Halimah dan kedua Anaknya. Ia begitu rindu ingin kembali berkumpul bersama Mereka. Kerinduan yang setiap kali muncul membuat dadanya sakit. “tidakkah Mereka berubah sikap? Maukah Mereka menerim Aku sebagai ayahnya?”
Harman kembali dihantui perasaan ngeri ditinggal Halimah dan kedua Anaknya. Entah mengapa, Harman sekarang menjadi sangat takut sekali kehilangan Mereka. “ah, Aku memang telah berdosa besar pada Mereka, Aku telah mengabaikan Mereka dalam masa jayaku. Tapi, kini setelah Aku jatuh, mengapa baru Aku teringat Mereka? Bukankah teramat wajar kalau kemudian Mereka meninggalkan Aku?”
Haraman lelah sendiri. Ia tak mampu lagi berpikir jernih. Ia merasa tenggelam dalam gumpalan kabut hitam dan kubangan lumpur dosa-dosanya sendiri. Tanpa terasa Harman tertidur pulas dengan mimpi yang menyertainya.
Hari ini merupakan hari pembebasannya. Dua Orang petugas membawanya menghadap kepala rumah tahanan. Harman harus menyelesaikan dulu segala urusan yang berkaitan dengan administrasi. Kepala rumah tahanan itu mengucapkan selamat atas kebebasannya. Harman Cuma tersenyum getir, pikirannya melayang jauh ke rumah. Setelah beres segala urusan administrasi dan tetek bengek lainnya, Harman diantar kedua petugas tadi menusuri lorong penjara yang tak akan pernah dilupakannya menuju gerbang kebebasan. Hatinya bergemuruh tak menentu. “seandainya Halimah meninggalkan Aku, bukan salahnya. Ia berhak memutuskan jalan hidupnya sendiri. Siapalah Aku Kini?” lirih mulut Haman berucap menghibur diri.
Tiba di ruang besuk, betapa terkejutnya Harman, Halimah, istrinya, beserta kedua Anak perempuannya yang telah remaja menunggu dengan senyum tulus. Harman langsung memburu dan memeluk erat kedua anaknya. Mereka saling bepelukan tanpa berkata-kata, ditelan keharuan dan kebahagiaan yang meluap-luap.
Setelah puasa menumpahkan kerinduan kepada kedua Anaknya, barulah Harman mendekati Halimah. Memeluk, mencium keningnya, juga tanpa ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Harman menatap istrinya setengah tak percaya. Harman merasa dirinya bukan berhadapan dengan Halimah, istrinya, tapi seperti berhadapan dengan bidadari yang turun dari surga.
“maafkan saya Mah” hanya itu yang mampu diucapkan Harman. Ya, Cuma itu. Seterusnya Ia memeluk istrinya erat-erat, seakan-akan tak ingin melepaskannya kembali. (Pabuaran, 1 Muharram 1420 H)
Suherman Emje